Selamat Datang

"Selamat datang di blog Nurdin Syariati, jadikan blog ini sebagai wadah untuk saling tukar menukar informasi demi tercapainya Indonesia yang jaya sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat"
MERDEKA 100 % !!!!!!!!!

Senin, 25 Januari 2010

Tangerang Selatan menuju krisis politik

Ismet Iskandar bukannya sedang bercengkok dangdut. "Kau yang mulai, kau yang mengakhiri," kata Bupati Tangerang dua periode ini, suatu hari di pengujung Ramadan, di kantornya, Tangerang, akhir September 2009.

Kalimat itu agaknya dipakai Ismet sebagai sindiran, atau mungkin lebih tepat tantangan, yang dialamatkan pada Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Sebelumnya, Atut menolak tiga calon Pejabat Wali Kota Tangerang Selatan yang diajukannya akhir Desember 2008.

Ratu Atut, yang berkepentingan memiliki akses kekuasaan ke daerah pemekaran Kabupaten Tangerang itu menampik ketiganya. Dia memilih menunjuk M. Shaleh sebagai Pejabat Wali Kota Tangerang Selatan, yang kemudian dilantik Menteri Dalam Negeri, 26 November 2008.

Akibat penunjukan itulah Ismet kecewa. Dia berargumen, sesuai Pasal 9 UU No.51/2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk berhak merekomendasikan tiga calon pejabat wali kota, dan gubernur hanya menyetujuinya.

Ratu Atut sendiri berkukuh pilihan politik yang ditempuhnya juga sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dia menyarankan agar Ismet menghormati keputusannya, dan membantu M. Shaleh menjalankan roda pemerintahan sementara di Tangerang Selatan.

Kekecewaan Ismet atas pilihan politik Ratu Atut tersebut rupanya bertahan lama. Praktis, sejak M. Shaleh mengendalikan roda pemerintahan sementara Kota Tangerang Selatan, pola relasi antara Pemkab Tangerang dan Pemkot Tangerang Selatan cenderung tidak kondusif.

Meski M. Shaleh juga sempat mendatangi Ismet di kantornya, suasana panas di antara batin keduanya tetap gagal disembunyikan, bahkan sampai di pengujung Desember 2009. Saling serang pernyataan antara keduanya di media massa tak lagi terelakkan.

Pokok yang jadi tema utama aksi saling serang pernyataan itu simpel saja sebetulnya, yakni menyangkut pembagian aset daerah serta hak penarikan pajak dan retribusi. Keduanya sama-sama mengklaim, pendapatnyalah yang paling benar.

Ismet misalnya, sekoyong-konyong menarik puluhan kendaraan dinas yang digunakan aparat Pemkot Tangerang Selatan. Alasannya, demi mengamankan aset berharga Pemkab Tangerang yang digunakan Pemkot Tangerang Selatan.

Alasan lain, Pemkot Tangerang Selatan sudah memiliki anggaran sendiri untuk membeli kendaraan dinas dan operasional bagi para pejabatnya. Apabila kendaraan milik Pemkab diberikan ke Pemkot, akan terjadi kekurangan kendaraan dinas di Pemkab.

"Pemkot Tangsel seharusnya berkoordinasi dengan Pemkab Tangerang sebagai pemerintah induk yang melahirkan kota itu. Tetapi, sekarang Pemkot memutuskan hubungan dengan Pemkab dan seperti kami tidak dianggap," kata Ismet seperti dikutip Antara.

Tak mau kalah

Pejabat Wali Kota Tangerang Selatan M. Shaleh juga tidak mau kalah. Dia meminta agar Pemkab Tangerang tidak menilai Pemkot Tangerang Selatan sebagai daerah pemekaran baru yang harus terus berada di bawah pengawalan dan pengawasan pemerintah induk.

Apalagi, katanya, Pemkab Tangerang sampai hari ini masih tetap menginginkan penarikan pajak retribusi dan perizinan di Kota Tangerang Selatan. "Kami jelas menolak permintaan itu, karena kalau itu direalisasikan, kami tidak punya pendapatan," kata Shaleh.

Menurut dia, justru akibat penolakan penarikan pajak retribusi dan perizinan di Tangerang Selatan itulah, Pemkab Tangerang kemudian membalasnya dengan menolak menyerahkan aset milik Pemkot Tangsel yang seharusnya sudah tuntas pada akhir 2009.

Adapun, nilai total aset tetap dan aset bergerak itu diperkirakan sekitar Rp1,5 triliun, terdiri a.l. kendaraan dinas dan operasional, gedung sekolah, fasilitas kesehatan, 7 kantor kecamatan, 47 kantor kelurahan serta fasilitas umum seperti jalan dan irigasi.

Pemkab Tangerang sendiri mencatat kehilangan penerimaan akibat munculnya Kota Tangerang Selatan mencapai Rp600 miliar per tahun. Itu pula yang menjelaskan kenapa volume APBD Kabupaten Tangerang 2010 tergerus 5% lebih dari volume tahun sebelumnya.

Penjabat Walikota Tangerang Selatan M Shaleh menyatakan hilangnya penerimaan asli daerah (PAD) Pemkab Tangerang yang beralih ke Tangerang Selatan harus diikhlaskan. "Itu kan risiko dari Pemkab Tangerang bila PAD-nya menurun," katanya.

Memang tidak mudah mengakhiri perseteruan ini. Sampai saat ini tidak ada formula atau mekanisme tetap yang mengikat kedua belah pihak untuk segera menuntaskan persoalan pembagian harta gono-gini tersebut. Apalagi, pemerintah pusat juga terlihat lepas tangan.

Sebaliknya, kemungkinan kian memanasnya situasi justru terbuka lebar, mengingat tahun ini akan digelar Pilkada Tangerang Selatan, yang disusul Pilkada Banten pada tahun depan -di mana kemungkinan besar Ratu Atut akan kembali mencalonkan dirinya.

Perlu diingat, perseteruan antara Atut dan Ismet sebetulnya juga bukan cerita baru. Sebelum Kota Tangerang Selatan berdiri, pola relasi antara keduanya, dengan beragam sebabnya, juga tak bisa dikatakan harmonis, dan warga banyak mengetahui situasi ini.

Ismet hampir selalu memilih tidak datang pada acara yang dihadiri Atut. Sebaliknya, Atut juga tidak muncul pada acara milik Ismet.

Peringatan hari ulang tahun Kabupaten Tangerang yang jatuh setiap 27 Desember misalnya, seolah sudah jadi saksi bisu ketidakharmonisan itu.

Dengan situasi ini, rasanya tak sulit menebak apa yang akan terjadi di Tangerang Selatan: Sebuah krisis politik atas nama perebutan kekuasaan yang kian meruncing, yang akhirnya meminggirkan perhatian pada perekonomian dan kepentingan warga yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar